Minggu, 15 November 2009

(Tidak) Malu Korupsi

Image and video hosting by TinyPic
(Tidak) Malu Korupsi

Setiap bangsa pada umumnya mempunyai cara pandang yang berbeda-beda dalam memperlakukan pelaku tindak pidana jenis kejahatan tertentu. Khusus terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di banyak Negara telah melakukan reformasi hukum dalam upaya untuk memberantas korupsi serta dalam menjatuhkan hukumannya.


Ketika China berusaha memacu pertumbuhan ekonominya tahun 1982, disertai kampanye perang melawan economic crime, utamanya korupsi. Sejak kampanye itu dicanangkan lebih dari 30 orang yang dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Di negeri Tirai Bambu itu, korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang memiliki tingkat keberbahayaan yang tinggi terhadap masyarakat (she huiweihaixing). Karena tingkat keberbahayaan itu bukan sekadar mengancam secara individual (reinshen weixianxing)-* Epstein dan Wong 1996, maka para pelakunya memperoleh ganjaran pidana yang keras.

Pemberian sanksi pidana alternatif yang lebih bermuatan nilai-nilai “malu” itu yang akhir-akhir ini sulit ditemukan. Menurut Newsweek 2002, sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri yang diduga keras penyebabnya adalah factor “malu”. Korupsi di Indonesia bukan saja dianggap kurang memalukan, tetapi juga kurang menyeramkan sanksi pidananya, bahkan sangat sulit menjerat pelaku tindak pidana korupsi tersebut, sehingga tidak ada rasa takut terhadap pelaku kejahatan ekonomi tersebut dalam menjalankan aksinya. Hal inilah yang menyebabkan virus korupusi mudah menyebar dan berkembang biak dikalangan masyarakat, terutama hampir ditingkat birokrasi (dari pangkat/golongan yang rendah sampai yang tinggi) dan pengusaha (tingkat kecil/menengah sampai pengusaha kelasa atas). Ciri khas korupsi di Indonesia antara lain bersifat integralistik, yaitu dipraktekkan begitu menyatu antara penguasa dan pengusaha. Para pelaku korupsi biasanya saling menikmati dan saling melindungi.

Mereka bersama-sama melakukan dosa berjama’ah dengan menggerogoti uang negara demi memperkaya diri, dan sesungguhnya merekapun tahu bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum dan berdosa tentunya, tetapi karena mereka beranggapan bahwa uang adalah panglima dan uang adalah segalanya, sehingga mereka tidak takut hukum (bisa dibeli), dosa (urusan belakangan), dan tidak takut ”malu”. (Danial dan dari berbagai sumber)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar