Rabu, 25 November 2009

Banjir, Masalah Klasik Jakarta

Image and video hosting by TinyPic

Ketika musim hujan tiba, Jakarta seperti sebuah baskom raksasa yang akan menampung limpahan air dari sungai-sungai yang melaluinya. Sebagai kota yang berada di dataran rendah, Jakarta selalu menjadi langganan banjir yang sewaktu waktu dapat menyerang. Tidak hanya saat ini, katenye semasa pemerintahan kolonial Belanda banjir juga pernah merendam Jakarta hingga beberapa kali meskipun tidak separah seperti sekarang ini.

Jakarta mempunyai kisah yang panjang soal banjir. Menurut KCM dalam rubrik Opini, sejarah banjir Jakarta sudah dimulai sejak tahun 1600-an. Sebelum banjir 2007, Jakarta telah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan tahun 2002.
Banyak penyebab mengapa banjir menjadi sangat akrab dengan ibukota ini. Dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan laut, apalagi adanya 13 sungai yang melintasi wilayah ini siap menumpahkan air bah "kiriman" dari Bopunjur. Kondisi itu diperparah oleh sistem drainase yang buruk, sampah yang menggunung dan sungai yang makin dangkal dan menyempit karena tepiannya dijadikan perumahan penduduk.
Kali Ciliwung, satu diantara sungai yang dulu pernah bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber air bersih, sarana transportasi, pembudidayaan ikan atau pertanian, kini jika musim hujan tiba berubah menjadi penyebab bencana.
Apalagi Ruang Hijau Terbuka (RHT) sebagai resapan air sudah sangat langka. Semakin lengkaplah beban penderitaan kota tercinta ini.

Mengatasi Banjir
Kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai harus ditumbuhkembangkan untuk lebih mencintai lingkungan, walaupun agak mustahil, sebaiknya terus dilakukan dengan cara pendekatan yang lebih intens. Larangan membuang sampah sembarangan dengan cara memberlakukan sanksi, terus digalakkan, Memberikan pengetahuan untuk mengolah sampah menjadi barang bermanfaat, agaknya dapat membantu merubah kebiasaan membuang sampah ke sungai.
Prinsip-prinsip membangun alam yang ramah lingkungan yang dikenal dengan 3 Reduce, Reuse dan Recycle, secara bertahap lebih diintensifkan. Reduce, berarti mengurangi sampah, warga bisa membawa tempat makanan sendiri saat membeli makanan di warung jika dibawa pulang, atau membawa minuman dalam botol minum daripada membeli air dalam botol kemasan.
Reuse, artinya menggunakan kembali barang-barang bekas, misalnya ember atau kaleng untuk pot. Terakhir Recyle, mendaur ulang; misalnya sampah dapur dan daun dijadikan kompos, kemasan plastik minyak goreng, minuman instan dan lain-lain dapat diolah kembali menjadi apa saja yang bisa memberikan manfaat.
Usaha memindahkan penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai juga bukan perkara mudah. Tipis kepedulian dan kesadaran warga bahwa sebenarnya keberadaan pemukiman penduduk di bantaran kali dapat menghambat arus sungai ke muara, sehingga air melimpah ke sisi sungai.
Sekalipun ada tawaran untuk pindah ke rumah susun atau tempat yang lebih layak misalnya, alasan klasik selalu menjadi jawaban. Biaya yang tak cukup untuk menyewa rumah atau lokasinya jauh dari tempat mencari nafkah dan banyak lagi alasan lainnya. kesimpulannya, mereka lebih suka kebanjiran daripada dipindahkan.

Yang pasti, mengatasi banjir bukanlah semata-mata menjadi kewajiban masyarakat bawah, akan tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen masyarakat, khususnya warga Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar